bahasa piji dan bahasa kreol

Bahasa Pijin dan Bahasa Kreol
Miftah Nugroho
I. Pendahuluan
Bahasa pada kenyataannya tidak tunggal melainkan berbeda-beda. Selain itu, dalam sebuah bahasa memiliki berbagai wujud variasi, antara lain variasi standar dan nonstandar. Variasi-variasi tersebut muncul karena faktor sosial budaya, tempat individu atau kelompok individu itu berada. Bentuk atau wujud bahasa seseorang atau kelompok masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan atau faktor ekstralingual yang bersentuhan dengannya. Oleh karena faktor ekstralingual inilah sehingga wujud bahasa menjadi beragam-ragam sesuai dengan kenyataan sosial yang direfleksikannya. Pendapat ini membantah konsep Chomsky ihwal masyarakat bahasa homogen. Wardhaugh (1986: 113) mengevaluasi pandangan masyarakat homogen Chomsky seperti kutipan berikut ini.
“For purely theoretical purposes, linguist may want to hypotezise the existence of some kind of “ideal” speech community. This is actually what Chomsky proposes, his ‘completely homogenous speech community’. However, such a community can not be our concern: it is theoretical construct employed for a narrow purpose. Our speech community, whatever they are, exist in a ‘real world’. Consequently, some alternative view must be developed of speech community, one helpful to investigation of a language in society rahter than necessitated by more abstract linguistic theorizing”.
Berdasarkan pendapat Wardhaugh di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan masyarakat bahasa yang heterogen lebih masuk akal. Ihwal masyarakat homogen, kelihatannya hal ini susah untuk dibayangkan. Andaikata ada, jumlahnya sangat terbatas. Oleh karena keheterogenan masyarakat bahasa, faktor-faktor yang bersifat individual, regional, sosial dan situasional sangat mempengaruhi variasi bahasa.
Berpijak dari pendapat di atas, para pakar sosiolinguistik berpendapat bahwa bahasa itu ada bermacam-macam. Di antara berbagai macam bahasa itu adalah bahasa pijin dan bahasa kreol.
Pada mulanya, pijin dan kreol dianggap sebagai fenomena linguistik yang tidak menarik. Orang yang berbicara dengan pijin dan kreol dianggap hina. Hymes (dalam Wardhaugh, 1988) menambahkan bahwa sebelum tahun 1930 pijin dan kreol secara luas diabaikan oleh linguis dan dinilai sebagai bahasa marginal. Kemarginalan ini disebabkan oleh asal-usul mereka. Oleh karena itu, orang yang berbicara dengan bahasa pijin dan kreol dihubungkan dengan anggota masyarakat miskin dan masyarakat hitam.
Untungnya, perilaku dan anggapan ini pada masa sekarang sudah berubah. Para ahli bahasa memberikan perhatian yang serius pada bahasa pijin dan kreol. Mereka menemukan karakteristik yang menarik ihwal pijin dan kreol. Kajian pijin dan kreol menjadi bagian penting dari kajian sosiolinguistik dengan segala literatur dan kontroversi dari pijin dan kreol itu sendiri. Pada akhirnya, para penutur bahasa menyadari bahwa berbicara dengan pijin dan kreol bukanlah sebuah variasi bahasa yang jelek, tetapi bahasa atau variasi bahasa yang memiliki legitimasi, sejarah, struktur, dan kemungkinan pengakuan sebagai sebuah bahasa yang patut atau benar (Wardhaugh, 1988).
II. Pijin
Wardhaugh (1988) dan Holmes (2001) mendefinisikan pijin adalah bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Wardhaugh (1988) menambahkan bahwa pijin kadang-kadang dianggap sebagai sebuah variasi yang mengurangi bahasa normal, dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosa kata, variasi fonologi, dan pencampuran kosa kata bahasa lokal. Oleh karena itu pijinisasi meliputi penyederhanaan bahasa, seperti pengurangan sistem morfologi (struktur kata) dan sintaksis (struktur gramatikal), toleran terhadap perbedaan pelafalan, pengurangan sejumlah fungsi bahasa, dan perluasan peminjaman kata-kata dari bahasa lokal. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Fasold (1996) yang menyatakan bahwa pijin merupakan penyederhanaan dari pelafalan dan aspek-aspek tertentu tata bahasa.
Dari beberapa pendapat di atas, definisi pijin dapat disarikan menjadi dua, yaitu
(1) pijin merupakan variasi bahasa yang tidak memiliki pentur asli,
(2) pijin adalah variasi bahasa yang bercirikan penyederhanaan (simplification), dan lazimnya aspek yang mengalami penyederhanaan adalah tata bahasa dan kosa kata.
Apabila diamati secara etimologis, istilah bahasa Inggris pijin kemungkinan besar diambil dari kata benda business yang berarti perdagangan. Mula-mula, kata ini merupakan ragam yang penting sebagai bahasa bantu dalam sebuah kontak bahasa. Oleh karena pengaruh substratum Cina, perkembangan kata pijin kemungkinannya adalah seperti berikut: /bisnis/ > /pizin/ > /pizin/ > /pidgin/ (Suhardi dkk, 1995).Selaras dengan pendapat Suhardi, Holmes (2001) menyatakan bahwa kata pijin mungkin berasal dari business yang dilafalkan dalam bahasa Inggris pijin yang berkembang pada bangsa Cina, atau mungkin dari bahasa Yahudi yaitu pidjom yang berarti perdagangan atau pertukaran. Kemungkinan juga kata pijin berasal dari kombinasi dua huruf bahasa Cina yaitu péi dan tsˉi n yang bermakna membayar dengan uang.
Bahasa pijin akan muncul apabila dua penutur atau lebih mempergunakan sistem bahasa yang timbul akibat adanya situasi kebahasaan darurat sebagai media komunikasi. Struktur bahasa tersebut disederhanakan dan kosa katanya dibatasi. Bahasa tersebut akan disebut bahasa pijin jika bahasa tersebut untuk kedua belah pihak bukan merupakan bahasa ibu (Suhardi dkk, 1995: 3). Pendapat senada juga dikemukakan Bell (dalam Ibrahim, 1995). Bell berpendapat bahwa dalam suatu situasi kontak dimana dua kelompok yang tidak memiliki bahasa yang sama atau umum dan keduanya ingin berkomunikasi. Pada saat inilah tumbuh medium yang tampaknya tidak dapat dihindarkan lagi.
Pengertian bahasa pijin di atas dilatarbelakangi oleh adanya ekspansi kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa serta perkembangan perdagangan akibat ekspansi tersebut. Akibat situasi tersebut lalu muncul kebutuhan untuk berkomunikasi di antara bangsa-bangsa yang tidak saling mengenal bahasa masing-masing, yaitu bahasa Eropa di satu pihak dan bahasa penduduk lokal di pihak lain. Terdorong oleh keinginan untuk saling mengerti, bangsa Eropa menyederhanakan bahasanya dalam bidang tata bahasa dan kosa kata. Tujuannya adalah agar dapat berinteraksi dengan penduduk lokal. Sebaliknya, penduduk lokal berusaha untuk mempermudah sistem bahasanya agar bangsa Eropa dapat mengerti bahasa mereka. Berdasarkan situasi ini timbullah suatu bahasa campuran dengan sebuah konvens kebahasaan yang lebih ketat. Bahasa campuran ini kerap muncul dalam daerah kontak bahasa dari dua budaya yang berbeda. Pada bahasa campuran itu, bahasa yang berprestise sosial yang lebih tinggi akan berkembang menjadi bahasa penyumbang yang dominan (Suhardi dkk, 1995).
Ihwal definisi bahasa pijin, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek linguistik, aspek sosial, dan aspek historis (Suhardi dkk, 1995). Dari aspek linguistik, bahasa pijin dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu bahasa kedua dan bahasa penyumbang. Pertama, bahasa pijin merupakan bahasa kedua bagi seorang penutur yang melakukan pengurangan kosa kata secara ketat, kecenderungan menguraikan sesuatu dan mempunyai metaforis yang sangat luas. Kedua, bahasa penyumbang memiliki perbendaharaan fonem yang telah dipermudah dan diubah, sistem fleksi telah dihapus. Jika dibandingkan dengan bahasa ibu telah mengalami kontraksi sintaksis, misalnya penyatuan preposisi, artikel, dan konjungsi.
Senada dengan pendapat di atas, Holmes (2001) menyatakan bahwa bahasa pijin dibuat dari kombinasi antara orang-orang yang bertutur dengan bahasa yang berbeda. Kelompok orang pertama berbicara dengan bahasa dunia yang prestisius, sedangkan kelompok kedua menggunakan bahasa lokal/vernakular. Bahasa yang prestisius menyumbangkan lebih banyak kosa kata, sedang bahasa lokal mempengaruhi tata bahasanya. Bahasa yang menyumbangkan lebih kosa kata disebut sebagai lexifier/superstrate, sedangkan bahasa yang mempengaruhi struktur tata bahasa disebut substrate. Misalnya seperti di Papua New Guinea, bahasa Inggris adalah bahasa lexifier untuk bahasa Tok Pisin, sedangkan bahasa Tolai menjadi bahasa substrate.
Ihwal stuktur linguistik bahasa pijin, terdapat dua ciri. Ciri yang pertama adalah penyederhanaan struktur. Misalnya kata tidak memiliki sistem infleksi, penanda plural atau kala dalam kata kerja sebagaimana bahasa Inggris. Tidak terdapat afiks yang menjadi penanda gender seperti bahasa Spanyol atau Italia. Holmes (2001) membuat contoh seperti berikut ini yang berkaitan dengan bentuk verba antara bahasa pijin dengan bahasa yang normal.
Tabel Perbandingan bentuk verba empat bahasa
Bahasa Perancis Bahasa Inggris Bahasa Tok Pisin Bahasa Pijin Kamerum
je vais
yu vas
elle/il/va I go
you go
she/he/it goes mi
yu go
em a
yu go
i

Ciri yang kedua adalah jumlah kosa kata yang terbatas. Oleh karena pijin hanya dipergunakan untuk perdagangan, jumlah kosa katanya hanya beberapa ratus saja. Oleh karena kosa katanya tidak banyak, satu kata dalam bahas pijin bisa mengandung beberapa arti. Misalnya kata pas dalam bahasa Tok Pisin dapat berarti a pass, a letter, a permit, ahead, fast, firmly, to be dense, crowded, tight, to be block, atau shut. Hal ini berbeda dengan bahasa normal (bahasa orang dewasa yang monolingual) yang memiliki kosa kata sekitar 25.000 – 30.000 kata.
Terkait dengan aspek sosial, bahasa pijin adalah bahasa yang oleh penuturnya dipergunakan sebagai bahasa ibu. Pemerolehannya berlangsung dalam proses belajar bahasa secara bebas. Selain itu, dipengaruhi oleh kekuatan petutur. Oleh karena itu, bahasa pijin hanya dapat menutupi kebutuhan akan ragam bahasa yang diperlukan untuk pemahakan bahasa pertama saja (misalnya dalam bidang perdagangan, peraturan yang sederhana). Dengan demikian, sistem bahasa pijin dapat dipahami memiliki status sosiolinguitik yang rendah di antara kedua mitra bicara/petutur. Adapun dilihat dari aspek historis, bahasa pijin muncul karena adanya kontak bahasa antara bangsa Eropa dan bangsa bukan Eropa.
Sejalan dengan pendapat di atas, Holmes (2001) berpendapat bahwa bahasa pijin bukanlah bahasa yang status sosialnya tinggi atau prestis. Orang-orang banyak yang tidak menggunakan bahasa pijin untuk berbicara. Mereka merasa bahasa pijin adalah bahasa yang menggelikan.
Pada dasarnya menurut Holmes (2001) bahasa pijin memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah untuk perdagangan atau untuk administrasi. Di samping itu, bahasa pijin dipergunakan secara eksklusif untuk fungsi bahasa referensial (penyampaian informasi) daripada fungsi afektif (menjaga hubungan sosial). Oleh karena itu, bahasa pijin dituturkan untuk fungsi atau tujuan khusus seperti membeli dan menjual bijih padi atau hewan langka daripada dituturkan untuk menandakan perbedaan sosial atau ekspresi kesantunan.
Bahasa pijin bagi Holmes (2001) memiliki tiga sifat, yaitu
1) digunakan untuk fungsi dan domain yang terbatas,
2) dibandingkan dengan bahasa sumber, bahasa pijin mengalami penyederhanaan struktur,
3) secara umum, bahasa pijin termasuk ke dalam bahasa yang prestiusnya rendah dan diperlakukan secara negatif.
Seringkali bahasa pijin berumur pendek. Kasus ini terjadi bila bahasa pijin hanya dipergunakan untuk fungsi terbatas. Bahasa pijin akan lenyap ketika fungsinya juga lenyap. Misalnya bahasa pijin Inggris di Vietnam yang dikembangkan untuk pemakaian antara pasukan Amerika dan orang Vietnam, namun pada akhirnya mati.

III. Kreol
Kreol adalah bahasa pijin yang mempunyai penutur asli (Hudson: 1996, Holmes: 2001, Wardhaugh: 1988). Wardhaugh (1988) mengibaratkan kreol seperti bahasa normal yang memiliki penutur asli. Definis lain ihwal kreol adalah bahasa yang terbentuk jika suatu sistem komunikasi yang pada awalnya merupakan bahasa pijin kemudian menjadi bahasa ibu suatu masyarakat (Suhardi dkk: 1995). Pendapat ini dikuatkan oleh Holmes (2001) yang mengatakan bahwa semua bahasa yang disebut pijin pada kenyataannya sekarang ini menjadi bahasa kreol baru. Bahasa kreol tersebut dipelajari oleh anak sebagai bahasa pertama dan dipergunakan pada domain yang luas. Holmes (2001) mencontohkan seperti bahasa Tok Pisin yang mulanya adalah bahasa pijin dan berkembang menjadi bahasa kreol.
Bagi Wardhaugh (1988), penutur bahasa kreol sama seperti halnya penutur bahasa pijin. Kesamaan itu bisa dilihat jika mereka bertutur, mereka merasa ada yang kurang tidak seperti pada bahasa yang normal sebab cara bertutur mereka dan yang lain dibandingkan dengan bahasa Perancis dan Inggris.
Bagi Holmes (2001) bahasa kreol berbeda dengan bahas pijin. Perbedaan itu tampak fungsi, struktur, dan ekspresi perilaku terhadap bahasa kreol. Menurut Holmes (2001) kreol adalah pijin yang strukturnya diperluas, kosa katanya mengekspresikan sejumlah arti dan berfungsi sebagai pemerolehan bahasa pertama. Selaras dengan pendapat Holmes, Wardhaugh (1988) berpendapat bahwa kreolisasi meliputi perluasan sistem morfologi dan sintaksis, keteraturan sistem fonologi, pertambahan fungsi-fungsi bahasa yang dipergunakan, dan perkembangan rasional serta sistem yang stabil bagi kosa kata. Berikut ini contoh ihwal ciri-ciri struktur bahasa kreol yang disajikan oleh Holmes (2001).
Bahasa Kreol River Rover Australia
(a) im bin megim ginu he made a canoe [past tense]
(b) im megimbad ginu he is making a canoe [present continuous]
Bahasa kreol bagaimanapun mengembangkan cara-cara ihwal penandaan arti seperti kala kata kerja. Seperti pada contoh di atas, penanda kala lampau adalah partikel bin, sedangkan aspek progresif dimarkahi dengan sufiks –bad yang dilekatkan pada verba.
Contoh lainnya dipaparkan Holmes (2001) berkaitan dengan bahasa pijin yang berkembang menjadi bahasa kreol, strukturnya menjadi teratur. Tabel di bawah ini menjelaskan ihwal strategi linguistik ihwal keteraturan struktur kata yang berhubungan dengan arti, dan bentuk ini membuat lebih mudah untuk dipelajari dan dipahami.
Bentuk-Bentuk Bahasa Tok Pisin
Bahasa Tok Pisin Bahasa Inggris Bahasa Tok Pisin Bahasa Inggris
Bik
Brait
Daun
Nogut
Pret
Doti Big, large
Wide
Low
Bad
Afraid
Dirty Bikim
Braitim
Daunim
Nogutim
Pretim
Dotim To enlarge, make large
To make wide, widen
To lower
To spoil, damage
To frighten, scare

Apabila fungsi dari bahasa pijin adalah hanya untuk perdagangan atau administrasi, atau untuk peyampaian informasi belaka, maka fungsi bahasa kreol menjadi lebih luas. Menurut Holmes (2001) fungsi bahasa kreol seperti halnya fungsi pada semua bahasa, yaitu untuk politik, pendidikan, administrasi perkantoran, kesusastraan. Misalnya bahasa Tok Pisin yang sering dipergunakan sebagai bahasa perdebatan di parlemen Papua New Guinea.
Ihwal sikap atau penilaian, penutur luar meyikapi negatif bahasa kreol sebagaimana sikap mereka pada bahasa pijin, namun kasus ini tidak semua bahasa kreol. Misal bahasa Tok Pisin yang mempunyai status dan prestis untuk orang-orang Papua New Guinea.
IV. Asal-Usul dan Berakhirnya Bahasa
Beberapa pakar bahasa berpendapat bahwa semua pijin dan kreol memiliki asalu-usul yang sama. Mereka menegaskan bahwa kebanyakan pijin dapat dilacak kembali ke pijin Portugal abad 15 dan mungkin berikutnya ke lingua franca/bahasa bantu Mediterania. Pakar yang lain berpendapat bahwa masing-masing pijin mucul dan berkembang secara mandiri. Oleh karena itu, para pakar memandang kesamaan bahasa pijin dengan membuat dua poin yang membatasi perkembangan bahasa pijin yang mereka bagi. Pertama, pijin muncul dalam kontkes yang berbeda namun untuk jenis fungsi dasar yang sama, seperti perdagangan, pertukaran dan transaksi yang lain serta orientasinya pada fungsi referensial. Kedua, fungsi-fungsi ini diekspresikan melalui proses struktural yang tampak universal pada semua situasi perkembangan bahasa, seperti penyederhanaan dan pengurangan tata bahasa.
Ihwal kreol, terdapat perdebatan mengenai apa yang terjadi pada kreol. Ada jawaban yang bervariasi yang tergantung pada konteks sosial. Dalam masyarakat yang pembagian sosialnya kaku, sebuah kreol mungkin menjadi variasi L yang stabil di samping dibolehkan menjadi variasi H. Misalnya situasi diglosik di Haiti dimana bahasa kreol Haiti menjadi variasi L di samping bahasa Perancis. Ketika rintangan sosial menjadi lebih cair, kreol mungkin berkembang menjadi bahasa standar dari keadaan yang menurunkan sejumlah kosa kata. Ketika kreol digunakan orang per orang dengan variasi standar dalam sebuah masyarakat yang rintangan sosialnya tidak dapat diatasi, ciri-ciri kreol akan berubah langsung menjadi variasi standar. Proses inilah yang disebut dekreolisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Fasold, Ralph. 1996. The Sociolinguistics of Language. Blackwell Publisher Ltd.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Pearson Education Limited
Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Surabaya: Usaha Nasional
Suhardi, Basuki dkk. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell Ltd.
Wijana, I Dewa Putu. 2003. “Eksistensi dan Resistensi Bahasa” dalam Kumpulan Karya Ilmiah Para Pakar pada Seminar Internasional Budaya, Bahasa, dan Sastra Fakultas Sastra UNDIP-UNIMUS Oktober 2003

Konteks dalam Pragmatik

KONTEKS DAN PRAGMATIK

I. Pendahuluan
Pada dasarnya, seorang peneliti bahasa dapat meneliti bahasa dari segi bentuknya saja. Misalnya, ia meneliti sebuah bahasa dari segi fonologinya saja, atau dari segi morfologi, sintaksis, dan semantiknya saja, atau keempat aspek tersebut diteliti semua. Setelah itu, ia akan merumuskan sistem bahasa yang ditelitinya. Lazimnya, hasil penelitian tersebut berupa sistem bahasa yang bentuknya gramatikal (set of rule).
Jika penelitian tersebut diterapkan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, penjelasan atau pendeskripsian yang akan dihasilkan menjadi kurang memadai. Misalnya seperti contoh di bawah ini.
(1) Ibu: Airnya sudah masak mbak?
Anak: Kopi atau teh Bu?
(2) Ali dimainkan bola.
Pada contoh (1) satu di atas, jika hanya diteliti dari segi bentuknya saja, hasilnya menjadi taksa. Ketaksaan ini disebabkan dari tuturan anak yang seharusnya berupa jawaban namun yang muncul adalah sebuah pertanyaan lagi. Seharusnya jawaban anak itu adalah “ya Bu, kompornya saya matikan”. Begitu pula contoh (2), Ali sebagai subjek kalimat tidaklah seharusnya dimainkan oleh bola. Yang benar adalah bola dimainkan oleh Ali. Fenomena-fenomena ini sering muncul dalam pemakaian bahasa sehari-hari.
Bagi seorang peneliti linguistik formal, ia hanya akan meneliti sebuah satuan bahasa tanpa dikaitkan dengan pemakaian bahasa sehari-hari. Ia tidak akan mempermasalahkan mengapa dan bagaimana sebuah kalimat atau tuturan itu muncul. Padahal, dalam pemakaian bahasa sehari-hari, terdapat unsur penting yang mempengaruhi pemakaian bahasa. Unsur itu adalah konteks. Konteks sangat mempengaruhi bentuk bahasa yang akan digunakan oleh seorang penutur. Oleh karena ketidakpedulian peneliti linguistik tersebut terhadap unsur konteks inilah, hasil analisisnya menjadi tidak memadai
Konteks mulai dianggap penting bagi para ahli linguistik sejak permulaan tahun-tahun 1970-an. Mereka menyadari akan pentingnya konteks dalam menafsirkan kalimat. Implikasi dalam memperhitungkan dan memperhatikan konteks dinyatakan Sadock (Brown dan Yule, 1996: 35) seperti di bawah ini.
There is, then, a serious methodological problem that confronts of the advocate of linguistic pragmatics. Given some aspect of what a sentence conveys in a particular context, is that aspect part of what the sentence conveys in virtue of its meaning … or should it be ‘worked out’ on the basis of Gricean principles from the rest of the meaning of the sentence and relevant facts of the context of utterance?
Salah satu cabang linguistik yang menonjolkan konteks dalam analisisnya adalah pragmatik. Hal ini ditegaskan oleh Levinson (1997) dalam bukunya Pragmatics. Dalam bukunya tersebut, Levinson membuat beberapa definisi pragmatik yang dikaitkan dengan konteks. Berikut ini adalah definisi pragmatik menurut Levinson yang berhubungan dengan konteks.
1. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa’
2. Pragmatics is the study of relations between language and context that a basic to an account of language understanding. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa’
3. Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the context in which they would be appropriate. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut atau tepat diujarkan’.
Berdasarkan definisi pragmatik di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks sangat diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak akan berjalan. Seperti pada contoh (1) dan (2) di atas, maksud dari dua tuturan tersebut dapat dijelaskan karena melibatkan konteks. Dengan kata lain, daya pragmatik atau pragmatics force sangat bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan diujarkan dalam sebuah peristiwa tutur.

II. Konteks dan Pragmatik
Istilah konteks pertama kali diperkenalkan oleh Malinowski (1923: 307) dengan sebutan konteks situasi. Ia merumuskan konteks situasi seperti di bawah ini.
Exactly as in the reality of spoken or written languages, a word without linguistic context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context situation.
Sejalan dengan pendapat Malinowski, Firth (Brown dan Yule, 1996) juga menyinggung konteks situasi untuk memahami sebuah ujaran. Menurut Firth, konteks situasi bagi pekerjaan linguistik menghubungkan tiga kategori, yaitu
a. Ciri-ciri yang relevan dari para peserta: orang-orang, kepribadian-kepribadian.
(i) Perbuatan verbal para peserta
(ii) Perbuatan nonverbal para peserta
b. Tujuan-tujuan yang relevan.
c. Akibat perbuatan verbal.
Konteks situasi yang dikenalkan oleh Malinowski dan Firth ini lalu dikembangkan lagi oleh Hymes (1974) yang menghubungkan dengan situasi tutur. Dalam situasi tutur tersebut, terdapat delapan komponen tutur yang disingkat menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tutur itu dapat mempengaruhi tuturan seseorang. Delapan komponen tutur itu meliputi latar fisik dan latar psikologis (setting and scene), peserta tutur (partisipants), tujuan tutur (ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments), norma tutur (norms), dan jenis tutur (genres).
Leech (1983) memerikan konteks sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Menurut Leech, konteks didefinisikan sebagai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech menambahkan dalam definisinya tentang konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur dan konteks ini membantu petutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud tuturan penutur.
Penjelasan yang agak panjang terkait dengan konteks dikemukakan oleh Levinson. Levinson (1983:5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap yaitu istilah yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter ruang dan waktu dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan serta maksud partisipan di dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson (1983: 22-23) menjelaskan bahwa untuk mengetahui sebuah konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistik yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan. Untuk mengetahui ciri-ciri konteks, Levinson mengambil pendapat Lyon yang membuat daftar prinsip-prinsip universal logika dan pemakaian bahasa, yaitu seperti di bawah ini.
(i) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam situasi tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial, sedangkan status meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial).
(ii) Pengetahuan ihwal lokasi spasial dan temporal
(iii) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas
(iv) Pengetahuan ihwal medium (kira-kira kode atau gaya pada sebuah saluran, seperti perbedaan antara variasi bahasa tulis dan lisan)
(v) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas.
(vi) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan domain register sebuah bahasa).
Kemudian, Ochs (Levinson, 1983: 23) menyatakan bahwa tidaklah mudah mendefinisikan jangkauan konteks. Menurutnya, seseorang mempertimbangkan aspek sosial dan psikologis pemakai bahasa yang menjalankan setiap waktu. Hal seperti itu adalah jangkauan minimal. Selain itu, jangkauan konteks juga meliputi kepercayaan dan asumsi ihwal latar sosial, temporal dan spasial; tindakan atau perbuatan yang lebih dulu, perbuatan terus-menerus, dan perbuatan yang akan dating (baik verbal maupun nonverbal), dan pernyataan ihwal pengetahuan dan perhatian terhadap partisipasi dalam interaksi sosial. Jadi, Lyon dan Ochs menekankan bahwa konteks tidak harus dipahami dengan meniadakan ciri-ciri linguistik. Levinson menambahkan bahwa konteks juga meliputi partisipan, tempat tuturan dengan rangkaian tuturan yang membangun sebuah wacana.
Pendapat lain dikemukakan oleh Hamblin yang menafsirkan konteks sebagai keunikan yang dimiliki penutur dalam arti janji yang tercatat (Gazdar: 1976). Van Dijk (Levinson, 1983) menambahkan bahwa konteks ditafsirkan sebagai situasi kompleks, sebagaimana situasi ihwal pasangan yang berurutan dimana situasi awal menyebabkan situasi kedua. Situasi pertama adalah produksi tuturan yang diujarkan penutur, sedangkan situasi yang kedua merupakan tafsir tuturan oleh petutur. Senada dengan pendapat Dijk, Verschueren (1999) menjelaskan bahwa dalam pemakaian bahasa terdapat unsur penutur dan petutur. Penutur bertugas membuat tuturan, sedangkan petutur menafsirkan tuturan penutur. Ihwal konteks, Verschueren mengaitan dengan dunia psikologis, sosial, dan fisik, saluran linguistik, dan konteks linguistik. Ihwal definisinya, konteks adalah hasil dari proses pembangkitan yang meliputi apakah yang ada di luar sana dan mobilisasi atau pengerahan (dan kadang-kadang berupa manipulasi) oleh pengguna bahasa.
Schiffrin (1994) memerikan konteks dalam bukunya Approach to Discourse dalam satu bab tersendiri. Pemerian konteks ia hubungkan dengan nosi teks. Dalam bukunya tersebut, Schiffrin membahas konteks dalam kaitannya dengan berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional, dan etnografi komunikasi. Teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan (berhubungan dalam linguistik maupun dalam kompetensi komunikasi), sedangkan sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi memandang konteks sebagai situasi (termasuk pengetahuan “di sini dan saat ini”) dan pengetahuan ihwal bentuk-bentuk umum situasi.
Yule (1996) membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Mey (2001) berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Konteks berorientasi pada pengguna sehingga konteks dapat disangka berbeda dari satu pengguna ke pengguna lain, dari satu kelompok pengguna ke kelompok pengguna lain, dan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mey menambahkan konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan/tindakan. Konteks adalah perihal pemahaman untuk apakah sesuatu itu. Konteks juga memberikan arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan praanggapan. Ciri konteks lain adalah fenomena register. Dengan register, petutur memahami bentuk-bentuk linguistik yang dipergunakan penutur untuk menandai sikap mereka terhadap mitra wicaranya.
Yan Huang (2007: 13-14) membicarakan konteks dalam kaitannya dengan nosi dasar semantik dan pragmatik. Menurut Huang, konteks dipergunakan secara luas dalam kepustakaan linguistik, namun sulit untuk memberikan definisi yang tepat. Konteks dalam arti luas mungkin diartikan sebagai pengacuan terhadap ciri-ciri yang relevan dari latar yang dinamis atau dalam lingkungan tempat unit linguistik dipergunakan secara sistematis. Selanjutnya, konteks disusun atas tiga jenis, yaitu konteks fisik, konteks linguistik, dan konteks pengetahuan umum. Konteks fisik mengacu pada latar fisik sebuah tuturan. Misalnya tuturan (3) di bawah ini penafsirannya bergantung pada pengetahuan terukur dari konteks fisik, yaitu lokasi ruang-waktu dari tuturan.
(3) He’s not the chief executive; he is. He’s the managing director.
Konteks linguistik menunjuk pada tuturan ada di sekitarnya dalam wacana yang sama. Misalnya tuturan (4) berikut yang mengandung konstruksi elliptis.
(4) John: Who gave the waiter a large tip?
Mary: Helem
Konteks pengetahuan umum meliputi sejumlah asumsi latar belakang yang dimiliki bersama antara penutur dan petutur. Misalnya tuturan (5) dan (6) di bawah ini yang dinilai secara pragmatis bentuknya baik dan anomali.
(5) I went to Beijing last month. The Forbiden City was magnificient.
(6) ?I went to Paris last month. The Forbiden City was magnificient.
Tuturan (5) secara pragmatis dinilai bentuknya baik, sedangkan (6) dinilai anomali. Berdasarkan pengetahuan dunai seseorang diketahui bahwa kota terlarang terdapat di Beijing, namun tidak ada pertunjukan pariwisata di Paris.
Konteks pengetahuan umum ini oleh Stanlaker (Yuang, 2007: 14) disebut latar umum (common ground). Konteks pengetahuan umum juga dikenal dengan istilah latar belakang, arti umum, ensiklopedi pengetahuan, konteks pengetahuan dunia nyata.
Joan Cutting (2008) menjelaskan konteks bersamaan dengan teks dan fungsi. Ketiga aspek tersebut dikaji oleh pragmatik dan analisis wacana. Konteks menurut Cutting adalah pengetahuan ihwal dunia fisik dan sosial serta faktor-faktor sosio-psikologis yang mempengaruhi komunikasi sebagaimana pengetahuan waktu dan tempat di dalam kata-kata yang dituturkan atau dituliskan. Konteks merupakan pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan petutur. Cutting membagi konteks menjadi tiga macam, yaitu konteks situasional, konteks pengetahuan latar, dan koteks. Konteks situasional berkaitan dengan situasi tempat interaksi tuturan, apakah penutur mengetahui ihwal apa yang dapat mereka lihat di sekelilingnya. Konteks pengetahuan latar berkaitan dengan apakah penutur dan petutur saling mengetahui ihwal budaya dan interpersonal. Budaya adalah pengetahuan umum yang dibawa oleh kebanyakan orang dalam pikirannya, seperti tempat tinggal. Interpersonal berhubungan dengan pengetahuan khusus dan kemungkinan pribadi ihwal sejarah penutur itu sendiri. Koteks merujuk pada konteks sebuah teks itu sendiri.

III. Penutup
Dari berbagai pendapat di atas, tampak peran konteks dalam kajian pragmatik. Analisis pragmatik sangat bergantung pada konteks. Dengan konteks, petutur dapat menafsirkan tuturan penutur dalam sebuah situasi tutur. Nosi yang penting ihwal konteks adalah sebagai berikut.
(1) Konteks merupakan konsep yang dinamis. Maksud dinamis di sini adalah bahwa kenyataan dunia selalu berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Hal ini berbeda dengan sosiolinguistik yang sifatnya statis. Misalnya sosiolinguistik menjelaskan pemilihan bentuk bahasa didasarkan pada komponen tutur Hymes (SPEAKING), sedangkan pragmatik menjelaskan pemilihan bentuk bahasa didasarkan pada tujuan para peserta pertuturan (Gunarwan, 2004).
(2) Nosi kedua yang penting adalah bahwa konteks berdasarkan literatur terkini terdiri dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks pengetahuan, dan koteks. Lazimnya konteks situasi dan pengetahuan lebih dahulu terjadi daripada koteks.
(3) Nosi ketiga, yaitu konteks berorientasi pada pengguna. Dengan demikian penggunaan konteks dapat berbeda, baik itu antarpengguna, antarkelompok pengguna, dan antarbahasa pengguna.
(4) Nosi keempat, konteks digunakan untuk memahami semua faktor yang berperan dalam produksi dan komprehensi tuturan (Jumanto, 2008: 31).
Daftar Pustaka
Brown, Gillian dan Goerge Yule. 1996. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press
Cutting, Joan. 2008. Pragmatics and Discourse. London: Routledge
Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form. New York: Academic Press
Gunarwan, Asim. 2004. “Pragmatik, Kebudayaan, dan Pengajaran Bahasa” dalam Seminar Nasional Semantik III: Sabtu, 28 Agustus 2004
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Jumanto. 2008. Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. Semarang: World Pro Publishing
Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited
Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press
Malinowsky, Bronislaw. 1923. “The Problem of Meaning in Primitive Language” dalam Ogeden , C.K. dan I.A. Richards (ed). The Meaning of Meaning London: Routledge & Keegan. Paul. Ltd
Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics An Introductions, second edition. Oxford: Blackwell
Schiffrin, Deborah. 1994. Approach to Discourse. Massachusetts: Blackwell Publishers
Verschueren, Jef. 1999. Understanding Pragmatics. London: Arnold
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press

belajar linguistik

linguistik adalah disiplin ilmu yang objek kajiannya adalah bahasa. ilmu ini penting untuk dipelajari agar bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dapat dipergunakan secara benar. namun apakah hanya linguistik saja yang perlu dikuasai? saya kira banyak hal yang perlu dikuasai oleh orang yang ingin interaksinya dengan orang lain bisa sukes.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!